POSKOTASUMATERA, JAKARTA-Pemerintah melalui kementerian Energi Sumber daya Mineral (ESDM) per Januari 2017 akan mencabut subsidi listrik untuk golongan 900 volt ampere (VA) yang masuk kategori rumah tangga mampu (RTM).
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai pemerintah harus mewaspadai adanya perubahan ekonomi di masyarakat. Sebab, masyarakat sangat rentan terhadap perubahan ekonomi, dan pencabutan ini akan memengaruhi pendapatan masyarakat.
Dia mencontohkan, masyarakat yang berprofesi sebagai buruh biasanya mengeluarkan anggaran untuk belanja listrik sebesar 3-3,5 persen dari total pendapatan. Namun, jika mereka masuk kategori RTM, maka pengeluaran mereka akan lebih tinggi.
“Kalau dinaikan jadi 6-7 persen tentunya kalau pendapatan mereka tidak naik, kenaikan ini signifikan meski listrik bukan belanja paling besar kenaikan bertahap tetap bisa smooth meringankan adanya lonjakan pengeluaran yang tiba-tiba,” ujar Fabby di Jakarta, dilansir merdeka.com.
Sementara itu, Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jarman menambahkan pencabutan ini sangat penting karena mampu menghemat dana subsidi APBN hingga Rp 20 triliun. Nantinya dana ini akan dialokasikan untuk meningkatkan rasio elektrifikasi di daerah-daerah terpencil.
Meski begitu, pemerintah akan mencabut subsidi ini secara perlahan. Tujuannya, agar masyarakat bisa menyesuaikan tarif yang baru.
“Ini akan digunakan untuk mendukung infrastruktur kelistrikan untuk daerah remote. Data September 2016 yang sudah berlistrik 89,8 persen, ini masih ada 10,2 persen atau 9 juta rumah tangga yang belum berlistrik. Supaya mereka bisa mendapat listrik seperti yang lain,” kata Jarman.(PS/IT)
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai pemerintah harus mewaspadai adanya perubahan ekonomi di masyarakat. Sebab, masyarakat sangat rentan terhadap perubahan ekonomi, dan pencabutan ini akan memengaruhi pendapatan masyarakat.
Dia mencontohkan, masyarakat yang berprofesi sebagai buruh biasanya mengeluarkan anggaran untuk belanja listrik sebesar 3-3,5 persen dari total pendapatan. Namun, jika mereka masuk kategori RTM, maka pengeluaran mereka akan lebih tinggi.
“Kalau dinaikan jadi 6-7 persen tentunya kalau pendapatan mereka tidak naik, kenaikan ini signifikan meski listrik bukan belanja paling besar kenaikan bertahap tetap bisa smooth meringankan adanya lonjakan pengeluaran yang tiba-tiba,” ujar Fabby di Jakarta, dilansir merdeka.com.
Sementara itu, Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jarman menambahkan pencabutan ini sangat penting karena mampu menghemat dana subsidi APBN hingga Rp 20 triliun. Nantinya dana ini akan dialokasikan untuk meningkatkan rasio elektrifikasi di daerah-daerah terpencil.
Meski begitu, pemerintah akan mencabut subsidi ini secara perlahan. Tujuannya, agar masyarakat bisa menyesuaikan tarif yang baru.
“Ini akan digunakan untuk mendukung infrastruktur kelistrikan untuk daerah remote. Data September 2016 yang sudah berlistrik 89,8 persen, ini masih ada 10,2 persen atau 9 juta rumah tangga yang belum berlistrik. Supaya mereka bisa mendapat listrik seperti yang lain,” kata Jarman.(PS/IT)