PENGADUAN: Surat Pengaduan DPD LSM ICON Labuhanbatu yang ditujukan kepada Kejagung dan Presiden RI. POSKOTA/OKTAVIANUS,SH
POSKOTASUMATERA.COM-RANTAUPRAPAT-Keberadaan
Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP) atau yang lebih dikenal dengan sebutan
Inspektorat Daerah, disebut - sebut dijadikan oleh Pemerintah Kabupaten
Labuhanbatu sebagai "Penangkal" atas merebaknya Kasus Wifi.
Hal ini dilakukan, selain usaha untuk menghapus dugaan Mark Up yang
telah terjadi atas Pelaksanaan Pemasangan Antena Tower Three Angle, dengan cara
mengembalikan Kelebihan Pembayaran Kontrak Siluman yang sempat dibuat, juga
bertujuan menyelamatkan Para Oknum yang terlibat di dalamnya. Setidaknya, dalam
beberapa waktu ke depan, Para Oknum tersebut masih menghirup udara segar karena
tidak mendekam di dalam Terali Besi.
Pasalnya, jika seandainya sebanyak 75 Kepala Desa yang terlibat
didalamnya harus menjalani "Indekos" di "Hotel Prodeo" ditemani
lebih kurang Lima Orang Aparat Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (DPMD)
Kabupaten Labuhanbatu, bersama dengan beberapa orang Rekanan atau Kontraktor.
Informasi Regulasi yang dikutip Wartawan dari UU No. 23 Tahun 2014
Tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 385 Ayat 4 menyebutkan, "Jika
berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditemukan
bukti adanya penyimpangan yang bersifat administratif, proses lebih lanjut
diserahkan kepada Aparat Pengawas Internal Pemerintah".
Menurut salah seorang Pemerhati Hukum Labuhanbatu yang tak mau
disebutkan namanya, saat diminta keterangannya terkait hal ini mengatakan, Ayat
4 Pasal 385 UU No. 23 Tahun 2014 tersebut jelas menegaskan, jika masih
dalam koridor kesalahan administrasi, APIP boleh mengambil alih Kasus Wifi dari
Kejaksaan.
Tapi, lanjutnya, dalam Kasus Wifi, diperkirakan ada beberapa dugaan yang
mengarah kepada Tindak Pidana. Seperti dugaan Mark Up, karena diduga telah
membengkakan Nilai Harga Pemasangan Tower Three Angle Wifi dari Harga Pasaran.
Yakni, dari Rp. 25 Juta Harga Pasaran, menjadi Rp. 40 - 50 Juta per Unit Tower
Wifi.
Kemudian, Ia menambahkan, dugaan Intervensi yang diperbuat Baikandi
Ladomi Harahap (BaLaHa), dengan memanfaatkan Jabatan Ayahnya selaku Bupati
Labuhanbatu untuk menekan Kepala Dinas PMD Labuhanbatu agar membuat Proyek
Pembangunan Tower Wifi di 75 Desa se Kabupaten Labuhanbatu dengan membebankan
Dana ADD dan memonopoli Pengerjaan Proyek tersebut, dapat dikatakan
Nepotisme.
Selanjutnya, menurut Pakar Hukum ini, setelah mendapat intervensi
dimaksud, Kepala Dinas PMD Labuhanbatu Zaid Harahap SSos seketika itu
memanfaatkan jabatannya untuk Menekan dan Mengintimidasi serta Mengintervensi
para Kades untuk membuat Satu Pos Pengeluaran Anggaran pada ADD antara Rp. 40
Juta hingga 50 Juta. Tanpa ada dibicarakan dalam pembahasan penyusunan Anggaran
Pendapatan Belanja Desa (APBDes) sebelumnya. Dan diduga membuat Rencana
Anggaran Biaya (RAB) serta "Kontrak Siluman", pada dengan membebani
ADD sebagai Sumber Dananya, dinilai telah mengangkangi aturan dan peraturan
terkait penggunaan ADD.
Karena, tambah dia, Pengelolaan ADD hanya boleh digunakan untuk membayar
biaya Operasional Aparat Perangkat Desa, sesuai Petunjuk Tekhnis (Juknis)
Pengelolaan ADD bahwa penggunaan harus melalui APBDes dengan prinsip hemat,
terarah, terkendali dan transparansi.
Selain itu, pengelolaan ADD harus direncanakan, dilaksanakan dan
dievaluasi secara terbuka dengan melibatkan Unsur Lembaga Kemasyarakatan di
Desa. Serta dapat dipertanggungjawabkan secara administrasi, teknis dan hukum.
Dengan memperhatikan beberapa hal sebagai indikator keberhasilannya antara lain
: Meningkatnya pengetahuan masyarakat tentang ADD dan penggunaannya;
Meningkatnya partisipasi masyarakat dalam Musrenbang Desa dan Pelaksanaan
Pembangunan Desa; Terjadi sinergi antara kegiatan yang dibiayai ADD dengan
program-progran pemerintah lainnya yang ada di desa; Tingginya kontribusi
masyarakat dalam bentuk swadaya masyarakat terhadap pembangunan yang
dilaksanakan di Desa; Tingkat penyerapan tenaga kerja lokal pada kegiatan
Pembangunan Desa; Dan sesuai dengan yang telah direncanakan dalam APBDes,
Terjadinya peningkatan Pendapatan Asli Desa.
Dilanjutkannya, adapun Dasar Hukumnya adalah Undang-Undang (UU)
Republik Indonesia (RI) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; UU RI
Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara; UU RI Nomor 15 Tahun 2004
tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara; UU RI Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; UU RI Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Selanjutnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 58 Tahun 2005 tentang
Pengelolaan Keuangan Daerah, PP Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa. Permendagri
Nomor 37 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa. Dengan Ketentuan
Penggunaan ADD sebagai berikut, untuk Pembayaran Penghasilan tetap Kepala
Desa dan Perangkat Desa. Maksimal sebesar 60% bagi Desa yang ADD nya dibawah
Rp. 500.000.000,00 dan maksimal sebesar 50% bagi Desa yang ADD nya lebih dari
Rp. 500.000.000,00 dari jumlah ADD yang diterima.
Kemudian belanja lainnya sisa dari jumlah ADD yang diterima oleh Desa
setelah digunakan untuk pembayaran penghasilan tetap Kepala Desa dan Perangkat
Desa digunakan untuk : membayar Tunjangan Kepala Desa, Perangkat Desa dan
Anggota BPD. Jaminan Kesehatan bagi Kepala Desa dan Perangkat Desa.
“Biaya Operasional BPD dan Lembaga Kemasyarakatan Desa. Sarana dan
Prasarana Operasional Pemerintah Desa. Sisanya dapat digunakan untuk Belanja
Operasional Pemerintahan Desa dan Belanja Pembangunan,” ucapnya.
Pakar Hukum ini juga mengatakan, hal ini juga tidak melalui tahapan
Pengadaan Barang Jasa Pemerintah, seperti yang diatur dalam Peraturan Presiden
Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2015 Tentang Perubahan Ke Empat Atas Peraturan
Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Dimana seharusnya, Kadis PMD Labuhanbatu mengajukan Pembangunan Tower
Wifi dan Jaringan internet se Kabupaten Labuhanbatu dalam Rencana Anggaran
Pendapatan Daerah Kabupaten Labuhanbatu (RAPBD) pada Tahun Anggaran (TA)
berikutnya. Bukan memaksakan Pembangunannya ataupun Pengadaannya dengan
membabani ADD yang diperuntukan bukan untuk itu, sebutnya.
Jadi, tambahnya, jika secepat itu Kepala Kejaksaan Negeri (Kajarj)
Labuhanbatu spontanitas memberikan kasus ini ke APIP, mungkin ada udang dibalik
batu. Padahal, keleluasan wewenang Kajari Rantauprapat lebih besar dibanding
Inspektorat dalam melakukan proses pemeriksaan Kasus Wifi.
Seperti yang tertulis pada Ayat 5 dalam Pasal yang sama pada UU No. 23
Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah telah jelas menerangkan bahwa,
"Jika berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
ditemukan bukti adanya penyimpangan yang bersifat pidana, proses lebih lanjut
diserahkan kepada aparat penegak hukum sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan".
Dan hal ini sebelumnya juga telah diperkuat dalam BAB XX Pasal 384 UU
dimaksud Tentang TINDAKAN HUKUM TERHADAP APARATUR SIPIL NEGARA DI INSTANSI
DAERAH Ayat 2 menyebutkan, "Ketentuan pemberitahuan penyidikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila, Tertangkap Tangan Melakukan
Sesuatu Tindak Pidana dan Disangka Telah Melakukan Tindak Pidana Kejahatan
yang diancam dengan Pidana Penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
Pasrahnya Kajari Labuhanbatu menyerahkan Kasus Wifi ini turun tingkatan
untuk dilakukan pemeriksaan oleh Inspektorat Daerah, terangnya, dinilai telah
mengangkangi Kode Etik Jaksa sesuai Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia
Nomor : PER-067/A/JA/07/2007 Tentang Kewajiban dan Larangan bagi seorang Jaksa,
seperti yang tertuang pada Point 1, 3, 4 dan 5 menyatakan, bahwa Dalam
melaksanakan Tugas Profesinya, Jaksa wajib mentaati kaidah hukum, peraturan
perundang-undangan dan peraturan kedinasan yang berlaku;mendasarkan pada
keyakinan dan alat bukti yang sah untuk mencapai keadilan dan kebenaran;
bersikap mandiri, bebas dari pengaruh, tekanan /ancaman opini publik secara
langsung atau tidak langsung dan bertindak secara obyektif dan tidak memihak.
Sementara itu, sambungnya, dalam melaksanakan tugas profesi, Jaksa
dilarang:menggunakan jabatan dan/atau kekuasaannya untuk kepentingan pribadi
dan/atau pihak lain; merekayasa fakta-fakta hukum dalam penanganan perkara;
menggunakan kapasitas dan otoritasnya untuk melakukan penekanan secara fisik
dan/atau psikis; meminta dan/atau menerima hadiah dan/atau keuntungan serta
melarang keluarganya meminta dan/atau menerima hadiah dan/atau keuntungan sehubungan
dengan jabatannya;menangani perkara yang mempunyai kepentingan pribadi atau
keluarga, mempunyai hubungan pekerjaan, partai atau finansial atau mempunyai
nilai ekonomis secara langsung atau tidak langsung; bertindak diskriminatif
dalam bentuk apapun membentuk opini publik yang dapat merugikan kepentingan
penegakan hukum; memberikan keterangan kepada publik kecuali terbatas pada
hal-hal teknis perkara yang ditangani, tandasnya mengakhiri Wawancara dengan
Wartawan.
Sementara itu dipihak lain, gerah mengetahui terjadinya dugaan
Konspirasi Jahat antara Kajari dan Inspektorat Labuhanbatu terkait Kasus Wifi
ini, Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
Investigation Corruption National (ICON) Republik Indonesia (RI) Kabupaten Labuhanbatu
yang di Ketuai Rahmat Fajar Sitorus, spontanitas melayangkan Surat Pengaduan ke
Kejaksaan Agung (Kejagung) dan President RI di Jakarta.
Dengan tujuan agar Kejagung dan Presiden RI dapat mengambil Alih Kasus
Wifi yang diduga telah merugikan Keuangan Negara senilai Rp. 1,5 M Rupiah. Hal
ini diperbuat sehubungan Kajatisu dan Kajari Labuhanbatu, dinilai tidak mampu
dan tidak lagi mempunyai gigi untuk menuntaskan Kasus Wifi dimaksud.
Ketika hal ini dikonfirmasi oleh Wartawan kepada Plt Sekretaris Daerah
(Sekda) Ahmad Mufli SH MM diruang kerjanya belum lama ini mengatakan, melalui
APIP, Presiden RI telah menginstruksikan agar menangani permasalahan
administrasi dengan baik, guna menghindari tindakan korupsi.
Ketika dipertanyakan tentang proses pemeriksaan Kasus Wifi, Mufli
mengatakan, tidak tertutup kemungkinan oknum terlibat akan tersandung hukum
nantinya, tapi setelah hal itu terlebih dahulu diperiksa oleh Inspektorat atau
APIP, jika menemukan indikasi korupsi, baru diserahkan ke pihak penegak
hukum, sebut Mufli.
Disisi lain, Kajari Labuhanbatu saat dikonfirmasi ulang terkait hal ini
via HP, hingga berita ini dikirim ke Redaksi belum menjawab konfirmasi
Wartawan. (PS/OKTA).
Kantor Kejaksaan Negeri
Labuhanbatu.