Tersangka Korupsi LPJU Prapidkan Kajari Labuhanbatu

/ Rabu, 28 Februari 2018 / 01.35.00 WIB

POSKOTASUMATERA.COM - RANTAUPRAPAT - Tersangka Dugaan Korupsi Pengadaan dan Pemasangan Lampu Penerangan Jalan Umum (LPJU) di Jalan Urip Sumodiharjo dan Jalan KH Ahmad Dahlan Rantauprapat dan telah ditahan oleh Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Labuhanbatu di Lembaga Pemasyarakatan Rantauprapat, M Yusuf (52), mengajukan Praperadilan terhadap Jaksa Agung Cq Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kajatisu) dan Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Labuhanbatu yang berkantor di Jalan Sisingamangaraja Rantauprapat. Permohonan Praperadilan ini telah disidangkan, Selasa (27/2), setelah sebelumnya didaftarkan Senin (26/2) di Pengadilan Negeri Rantauprapat. 

Kuasa hukum pemohon, Mahmud Irsad Lubis, Taufik Hidayat Lubis dan Hendra Fajarudi dari Kantor Advokat Lubis & Rekan yang beralamat di Jalan Pangadegan Utara l Nomor 9 RT 012 RW 06 Pancoran Jakarta Selatan DKI Jakarta, pada sidang perdana membacakan dalil-dalil dan dasar permohonan Praperadilan yang diajukan, di hadapan hakim tunggal, Arie Ferdian SH. Permohonan Praperadilan tersebut dihadapi termohon melalui Tim Jaksa Pengacara Negara, Rudi Bona Huta Sagala MH (Kasi Datun Kejari Labuhanbatu), Reka Wati SH dan Daniel Tulus Sihotang MH. 

Mahmud Irsad Lubis menyebutkan,  pemohon adalah tersangka atas Perkara Dugaan Tindak Pidana melanggar Pasal 2 ayat 1, Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No.20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU 31/1999 jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP, atas Dugaan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadaan dan Pemasangan LPJU di Jalan Urip Sumodiharjo dan Jalan KH Ahmad Dahlan Rantauprapat yang bersumber dari Dana APBD Labuhanbatu Tahun Anggaran (TA) 2014 dengan Nilai Kontrak Rp. 638.800.000.

"Permohonan Praperadilan ini diajukan terkait dengan tidak sahnya penetapan tersangka, tidak sahnya penahanan yang dilakukan oleh termohon dan tidak adanya Kerugian Negara dalam perkara a quo. Landasan hukum permohonan ini ditentukan dalam perundang-undangan sebagaimana secara implisit ditentukan dalam pasal 77 UU Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang mana objek praperadilan telah diperluas berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi nomor 21/PUU-XII/2014 tabggal 28 Oktober 2014," tegas Mahmud. 

Mahmud juga mengungkapkan fakta-fakta hukum penetapan tersangka yang tidak sah, antara lain bahwa pemohon kedudukannya sebagai Direktur CV Mandiri telah dimintai keterangannya beberapa kali sehubungan dengan Dugaan Tindak Pidana Korupsi Pengadaan dan Pemasangan LPJU di Jalan Urip Sumodiharjo dan Jalan KH Ahmad Dahlan dimaksud, selalu menghadiri panggilan, kooperatif dan selalu jujur memberikan keterangan. 

"Bahwa setelah dimintai keterangan beberapa kali, kemudian pemohon diperiksa sebagai saksi atas nama tersangka Julius Indrasyahputra berdasarkan Surat Panggilan Saksi Nomor SP-134/N.2.16.4/FD.1/11/2017 tanggal 14 November 2017. Setelah diperiksa sebagai saksi, termohon memanggil pemohon berdasarkan surat panggilan tersangka Nomor SP-196/N.2.16.4/N/FD.1/02/2018 tanggal 7 Februari 2018 agar hadir menghadap termohon untuk didengar dan diperiksa sebagai Tersangka atas Dugaan Tindak Pidana Korupsi Pengadaan dan Pemasangan LPJU tersebut. Pemohon sangat terkejut dan tidak pernah menduga untuk diperiksa sebagai Tersangka, karena sebelumnya, belum pernah mengetahui dan menerima penetapan sebagai tersangka," sebutnya. 

Dia menambahkan, pemohon juga belum pernah menerima pemberitahuan ataupun tembusan pemberitahuan tentang Peningkatan Status dari Penyelidikan ke Penyidikan terhadap dirinya, sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015.

Namun demikian, lanjut Mahmud, pada Rabu 14 Februari 2018, pemohon dengan itikad baik tetap datang memenuhi panggilan termohon. Dengan status sebagai tersangka, pemohon masih menunjukkan itikad baiknya dengan memberikan keterangan-keterangan yang jujur tanpa adanya sesuatu yang disembunyikan, dan pada saat itu menerima Surat Penetapan Tersangka Nomor Print-02/N.2.16.4/Fd.1/10/2017 tanggal 31 Oktober 2017 dan Surat Perintah Penyidikan Nomor Print-06.A2/N.2.16/Fd.1/10/2017 tanggal 31 Oktober 2017 dengan Bukti Tanda Terima Data/Dokumen Penyerahan Surat Perintah Penyidikan dan Surat Penetapan Tersangka di hari yang sama pula, dan selanjutnya melakukan Penahanan atas diri pemohon berdasarkan Surat Perintah Penahanan Nomor Print-01/N.2.16/Fd.1/02/2018 tanggal 14 Februari 2018.

"Bahwa pemohon ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan Surat Nomor Print-02/N.2.16.4/Fd.1/10/2017 tanggal 31 Oktober 2017 bersamaan dengan surat perintah penyidikan nomor print 06.A2/N.2.16/Fd.1/10/2017 tanggal 31 Oktober 2017 untuk dilakukan penyidikan atas dirinya. Artinya, Penetapan Tersangka dilakukan di awal Penyidikan dan bukan di akhir Penyidikan. Tentu saja itu sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan yang ada, karena sama saja tidak menghargai harkat dan martabat pemohon sebagai seorang manusia. Apalagi setelah Putusan Nomor 97/Pid.Prap/2017/PN Jkt.Sel menjelaskan, bahwa untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka haruslah di akhir penyidikan, bukan di awal penyidikan. Bahwa hal tersebut sejalan dengan pendapat Dr Chairul Huda, di mana beliau menjelaskan pentingnya untuk memeriksa seseorang secara penuh tanpa terpisah, baik dimulai dari Penyelidikan dan Penyidikan," ungkapnya. 

Kemudian, berdasarkan Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 Oktober 2014, seseorang dapat ditetapkan sebagai tersangka, adalah dikarenakan adanya syarat minimum dua alat bukti yang sah dan pemeriksaan calon tersangka. 

"Bahwa yang dilakukan termohon tentu saja telah melanggar pasal 1 angka 2 KUHAP, yakni penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam UU ini, untuk mencari serta mengumpulkan bukti. Dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Bahwa dari ketentuan Pasal 1 angka 2 KUHAP tersebut, makna dari penyidikan adalah dalam rangka terlebih dahulu mencari dan mengumpulkan bukti untuk membuat terang suatu tindak pidana yang terjadi. Dari bukti-bukti tersebut kemudian baru ditetapkan tersangkanya. Akan tetapi faktanya, terhadap pemohon telah ditetapkan terlebih dahulu sebagai tersangka tanpa terlebih dahulu dilakukan tindakan-tindakan penyidikan, yakni mencari serta mengumpulkan bukti-bukti untuk membuat terang peristiwa pidana, atau perbuatan apa yang dilakukan oleh pemohon, serta bukti-bukti apa saja yang terkait dengan pemohon. Dalam hal ini pemohon sama sekali tidak pernah diperiksa sebagai saksi dan proses penyelidikan dan penyidikan terhadap pemohon, melainkan langsung ditetapkan sebagai tersangka. Dengan demikian tidak jelas bukti permulaan yang mana dijadikan dasar oleh termohon dalam menetapkan pemohon sebagai tersangka," ujarnya. 

Dengan demikian, penetapan pemohon sebagai tersangka sebagaimana disebutkan dalam Surat Penetapan tersangka Nomor Print-02/N.2.16.4/Fd.1/10/2017 tanggal 31 Oktober 2017 tidak didasarkan atas bukti permulaan yang sah, sebab termohon belum melakukan penyidikan untuk mencari dan mengumpulkan bukti-bukti guna membuat terang suatu tindak pidana. 

"Tidak adanya pemberitahuan ataupun tembusan pemberitahuan peningkatan status dari lidik ke sidik atas diri pemohon kepada pemohon adalah cacat hukum dan bertentangan dengan peraturan yang berlaku. Demikian penetapan sebagai tersangka terhadap pemohon juga tidak sah dan cacat hukum," tegasnya. (PS/OKTA)

Related Posts:

Komentar Anda