POSKOTASUMATERA.COM - JAKARTA - Mengambil Tema : “Quovadis Otonomi Daerah dan Desa, Problematika dan Apa Solusinya?", Dewan Pengurus Nasional Ikatan Sarjana Rakyat Indonesia (ISRI) gelar Diskusi Tematik III di Jakarta, Sabtu (28/04/2018) lalu, dipandu oleh Redaktur Senior D'News Jan Prince Permata, dengan Pembicara Bambang Yudoyono, Ir Masruri Abdul Halim MSc IPU, Purwoko dan Davit Kurniawan (Pegiat Digitalisasi Desa - BUMDes), Suryokoco Suryoputro (TV Desa) selaku Penanggap.
Wakil Ketua Dewan Kepakaran DPN ISRI Bambang Yudoyono selaku Pembicara Pertama dalam kesempatan itu memaparkan, perlu diketahui oleh semua Masyarakat bahwa Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Republik Indonesia, merupakan hal yang penting dan strategis. Karena Undang - Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1945 sebagai UU Pertama yang dihasilkan dalam waktu kurang dari 100 hari Indonesia Merdeka. Jadi, issue terkait Otonomi Daerah bukanlah saat Reformasi saja.
“Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Indonesia merupakan Isue Lama yg tetap menemukan aktualitas dan relevansinya. Undang-Undang No. 1 Tahun 1945 yg merupakan Undang-Undang Pertama setelah Proklamasi Kemerdekaan RI. Jadi Issue Otonomi Daerah, bukan saat Reformasi saja”, sebut Bambang Yodoyono.
Yudoyono juga menguraikan, secara runut, Perjalanan Dejarah Desentralisasi dan Otonomi Daerah sejak 1945 sampai saat ini, beserta latar belakang konflik yg menyertainya, sudah terjadi 8 kali Penggantian Peraturan per - UU - an dan terakhir dengan UU 23 Tahun 2014 Tentang Otonomi Daerah.
Menurut Yudoyono, saat Reformasi ditengarai banyak pihak sangat kental beraroma Federalisme. Misalnya, kedudukan DPRD sebagai Lembaga Legislatif Daerah.
"Kita tahu, dalam sistem Negara Kesatuan hanya dikenal satu Lembaga Legislatif yaitu di Pusat. Ekses yang ditimbulkan saat awa Reformasi itu adalah Disharmoni dalam hubungan antara KDH/Pemda dan DPRD, serta Disharmoni hubungan antara Gubernur dan Bupati/Walkota", urainya.
Namun, tambah Yudoyono, hal ini telah dikoreksi dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 yang dinilai cukup menerjemahkan Konsep Otonomi Daerah sesuai dengan bingkai NKRI. Dan DPRD merupakan Unsur Penyelenggara Pemerintahan Daerah dan KDH tidak bertanggung jawab kepada DPRD seperti di awal Reformasi. Terkait dengan itu, ada perubahan nama dari Baleg menjadi Baperda.
Selanjutnya, Ia menggelitik para pembuat UU dengan adanya UU MD3, seharusnya, bukan lagi MD3 tapi MD2 karena DPRD yang merupakan unsur Pemerintahan Daerah pengaturannya ada di UU Pemerintahan Daerah.
Kemudian, Yudoyono menyampaikan, bahwa untuk mengurai Permasalahan perlu menyisir dari 3 aspek yaitu : 1. Tujuh Elemen Pembentuk Pemerintahan Daerah, 2. Peraturan Pelaksanaan UUD 1945 dan 3. Kunci keberhasilan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
Menurutnya, pada aspek Elemen Pembentuk, Pertama, Urusan Pemerintahan yang diserahkan ke Daerah dalam arti belum disertai rincian kewenangan yang jelas, sehinga rancu saat diimplementasikan di Daerah - Daerah. Contonya, Pendidikan Menegah, berkaitan dangan Wajib Belajar 12 Tahun, Sarana dan Prasarana Dikmen. Kedua, Kelembagaan yang cendereng belum Ramping Struktur Kaya Fungsi, sebagian tidak mencerminkan keterkaitan dengan Visi Misi RPJPD dan RPJMD, serta Reformasi Birokrasi belum selesai tuntas. Ketiga, Personil – SDM Administrasi (Pemda) dan SDM Politik (DPRD, Kepada Daerah dan Wakil Kepala Daerah) yaitu kuantitas PNS + Non PNS banyak yang Pensiun belum diisi, Kualitas banyak yang gagap dalam memasuki Era Digital (E - Gov, E -Planning, E - Budgeting dan sebagainya). Disisi lain, banyak yang terlibat Kasus Hukum dan fenomena yang merata adalah masih terbatasnya SDM yang memiliki Kompetensi dan Integritas yang memadai.
Adapun hal tersebut, lanjut Yodoyono, disebabkan karena lemahnya Sistem Pembinaan Personil, belum Efektifnya Pendidikan Politik Rakyat, belum berjalannya jenjang Penjenjangan Kader Kepemimpinan, belum berjalannya Character Building, masih maraknya Kolusi dan Nepotisme, serta Subjektifitas berdasarkan Afilisasi, System Pemilihan Pejabat Politik Berbiaya Tinggi.
Ia juga memaparkan, adapun Indikasi terbatasnya SDM yang memiliki Kompetensi dan Integritas, Pertama, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang tersandung Kasus Hukum sampai September 2014 ada sebanyak 361 Orang. Terdiri dari 18 Gubernur dan Wakil Gubernur, 343 Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota. Sejak 14 Oktober 2014 – 28 Februari 2018, ada sebanyak 73 Orang dengan rincian 9 Gubernur, 64 Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota, totalnya ada 434 orang. Juga PNS dan Anggota DPRD yang tersandung Kasus Hukum berjumlah lebih dari 1.000 Orang.
Yudoyono juga menjelaskan, Tantangan Otonomi Daerah di masa mendatang, adalah menghilangkan masalah Klasik Kualitas SDM yang semakin menjauh dari Pencapaian Tujuan Utama Otonomi Daerah yaitu Demokrasi dan Kesejahteraan Rakyat, Berada di Era Digital, Ketimpangan Sosial - Ekonomi dan Ketimpangan Antar Daerah, Ledakan Jumlah Penduduk, Ketenagakerjaan, Keberdayaan Masyarakat, Ketersediaan Pangan, Papan dan Energi, Kelestarian SDA dan Lingkungan Hidup, serta Tatanan Sosial Budaya, ujarnya.
Yudoyono memberikan Catatan Khusus Sehubungan hasil Perubahan UUD 1945 Pasal 18, Dalam Rumusan Baru Pasal 18 Ayat (1) berbunyi : “NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA DIBAGI ATAS DAERAH - DAERAH PROVINSI DAN DAERAH - DAERAH PROVINSI ITU DIBAGI ATAS KABUPATEN DAN KOTA, YANG TIAP - TIAP PROVINSI, KABUPATEN DAN KOTA ITU MEMPUNYAI PEMERINTAHAN DAERAH YANG DIATUR DENGAN UNDANG-UNDANG”. Oleh karena Tidak lagi Menggunakan Model Penjelasan, maka Tafsir atas Pasal 18 Ayat (1) tersebut dimungkinkan berbeda - beda. Kata “Negara Kesatuan RI DIBAGI… dst, ... tiap - tiap Provinsi, Kabupaten, Kota Mempunyai Pemerintahan Daerah.. dst, Memungkinkan ada Penafsiran yang dapat MENDISTORSI MAKNA Pasal1 Ayat (1). - Bandingkan dengan rumusan UUD 1945 lama Pasal 18.
Pembicara Kedua Ir Masruri Abdul Halim MSc IPU (Majelis Penilai Insyinyur Profesi Badan Kejuruan Teknologi Kedirgantaraan Persatuan Insinyur Indonesia/Tenaga Ahli Investigasi Kecelakaan Penerbangan) menyampaikan, bahwa sebenarnya Bandara Internasional di Indonesia sebenarnya cukup 5 (Lima) saja, sebagaimana ide dan gagasan ini sudah ada sejak jaman Bung Karno, saat itu dan hingga saat ini masih sangat relevan.
Ia memaparkan, Data Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan Republik Indonesia Tahun 2017, saat ini jumlah total Bandara di Indonesia sekitar 296 Bandar Udara. Dari jumlah tersebut, berstatus Bandara Knternasional ada 27 tempat dan tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Serta Bandara lain yang dibangun oleh Swasta atau Masyarakat untuk kepentingan Pengangkutan Logistik, atau keperluan mereka lainnya.
Masruri menjelaskan, Bandara Internasional sebanyak 27 terlalu banyak, perlu ada Evaluasi Untung Ruginya. Apakah benar keberadaan Bandara menguntungkan bagi Daerah ? dan Pergerakan Turis Asing langsung dari Negara lain ke Daerah Lokasi Wisata. Adapun keuntungan antara lain, Turis dapat langsung ke Lokasi Wisata, mungkin jumlah Wisatawan akan lebih banyak ?, Ekonomi Masyarakat dapat berkembang ?, Hunian Hotel bertambah ?, Pergerakan Keluar Masuk Barang dan Orang Asing dapat lebih terkendali. Sedangkan kerugiannya antara lain, Transportasi Lokal dari dan ke Bandara Internasional berkurang “Moda Udara, Darat dan Laut“, khususnya Penerbangan Domestik dari dan ke - Lokasi Industri dan Wisata akan kurang bahkan tidak ada penumpangnya lagi.
Sebagai contoh, jelasnya, Pihak Singapore akan diuntungkan karena akan terjadi Penerbangan 1 Destinasi Changi/SIN berbanding 27 Festinasi Indonesia, atau sesuai dengan jumlah Bandara Internasional, masyarakat hanya sebatas Pendamping/Pekerja Kasar. Mungkin jumlah Investor atau Wisatawan akan tetap ?, Ekonomi Hunian Hotel, Pendapatan lain akan tetap, Biaya untuk membangun Bandar Udara Internasional Besar.
Masruri juga mengatakan, jika telah ada Bandar Udara sebelumnya, maka Anggaran tidak perlu untuk membangun Bandara Baru, cukup meningkatan Fasilitas Navigasi Penerbangan yang ada untuk meningkatkan Kualitas Keselamatan dan Kuantitas Operasional Penerbangan Siang dan Malam Hari. Sehingga, penerbangan ke dan dari Bandara Domestik terdekat dapat dilakukan lebih sering untuk keperluan Penerbangan Lanjutan/Conecting Flight para Turis Manca Negara dan Membuat Conecting Flight dengan Transportasi Laut atau Darat ke Tujuan Wisata.
Selain itu, Ia menyarankan, adanya Moda Transportasi Wisata kepulauan, contoh tujuan Pantai Ora, jika pergi sendirian atau berdua dengan pasangan, opsi terbaik adalah memilih Jalur Laut.
"Setelah mendarat di Bandara Pattimura Ambon, anda bisa melanjutkan perjalanan naik Taksi menuju Pelabuhan Tulehu. Dari Pelabuhan ini, anda harus Naik Kapal lagi selama 2 jam untuk tiba di Pelabuhan Amahai dengan ongkos sekitar Rp 150.000 per Orang. Dari Pelabuhan Amahai, anda masih harus naik angkutan umum lagi menuju Desa Sawai selama 2 jam. Setelah itu, dari Desa Sawai masih harus menyeberang lagi menuju Pantai ini dengan Kapal Motor selama 10 menit. Tentunya, jika datang sudah kesorean, harus menginap dulu di Ambon. Jika pergi bersama teman - teman, opsi terbaik adalah Jalur Darat dengan menyewa mobil dari Bandara Pattimura dan langsung ke Desa Sawai. Namun, rute ini memerlukan waktu tempuh yang lama, yaitu satu hari satu malam, karena harus menyusuri Kabupaten Seram Bagian Barat dan Kabupaten Maluku Tengah. Meski lama, rute ini tidak mengharuskan berganti Alat Transportasi lagi. Harga sewa mobil untuk rute ini tergantung negosiasi, biasanya berkisar Rp 1.000.000 per Mobil, Opsi Lain, perlu direncanakan ke depan dari Airport Patimura", jelas Masruri.
Terkait Opsi Lain dimaksud, Terinspirasi saat melakukan Tugas Dinas, Masruri menceritakan, dengan Rute Lenerbangan Jakarta Hongkong Makau, yang mana, Jakarta Hongkong dengan Pesawat Terbang dan Makau Hongkong menggunakan Transportasi Laut.
"Saat Booking di Jakarta, kami sampaikan ke Reservasi Terbang jurusan Hongkong nyambung Makau dengan Marine. Setiba di Hongkong, kami langsung Pemeriksaan Visa dan lanjut lapor ke Tiketing Marine dan langsung Naik Kapal sampai di Makau, sudah beres semua, bagasi sudah tinggal ambil di Pelabuhan Makao. Kapan kita punya Airport yang sinergi dengan Pelabuhan Laut, padahal sebelah Bandara Parindra Ambon, ada bekas pelabuhan Amerika yang sudah rusak ? Alangkah baiknya di Renovasi atau dibuat kembali menjadi satu dengan Bandar Udara Patimura. Sehingga, Turis dapat mendarat langsung berganti moda Marine ke tempat Ora dan tujuan lain yang bagus. Atau menggunakan Transportasi Pesawat Ampihi sebagai mana di Maldive", ujar Masruri.
Masruri juga mengingatkan, pentingnya Bandar Udara Penyedia Logistik, di Papua Misalnya, pengiriman Logistik Bahan Makanan dan keperluan sehari - hari masih diperlukan melalui Transportasi Udara. Misalnya Bandar Udara besarnya Sertani Jayapura, Wamena, dan Timika. Wamena sebagai Bandara Penghubung Logistik ke daerah Pegunungan, jika terjadi sesuatu dan landasan tertutup, tidak dapat digunakan. Maka, harga barang di Daerah Pegungan akan naik sampai berlipat.
Sesuai dengan lama tidak beroperasinya Transport Logistik, Tambahan Bandara dengan landasan yang mampu didarati Pesawat Sekelat & Boeing 737 untuk mengihindari Gejolak Ekonomi, Sosial dan Politik, jika terjadi Bandara tidak dapat digunakan akibat kecelakaan, hal tersebut sudah diusulkan oleh KNKT.
Ia juga mengamati, Bandara Logistik Buatan Masyarakat, Jumlah Airstrip buatan masyarakat di Papua sekitar 400 Airstrip dengan Kendala Perawatan Landas Pacunya, memerlukan Batuan Alat Potong Rumput dan Bensing jika diperlukan pemotongan rumput. Hal ini sangat diperlukan oleh Pesawat Kecil baik Chater maupun Misionari agar dapat mengangkut Logistik Kebutuhan Masyarakat, Landasan masyarakat juga milik Indonesia perlu diperhatikan Tingkat Operasi dan Kelayakannya, guna menunjang kehidupan Sosial Ekonomi mereka ?
Dalam kesimpulannya Masruri menyampaikan bahwa, 1. Bandara yang memilik Runway Tunggal dan Frekuwensi sudah padat, disarankan untuk dibuatkan Runway Tambahan, seperti menyiapkan tanah sejak rancangan awal untuk menhindari kejadian Bandara ditutup, karena masalah Runway. 2. Bandara Internasional sebaiknya tidak ditambah lagi untuk meningkatkan Transportasi antar Moda dan Penerbangan Domestik. 3. Lebih mudah memantau/mengawasi pergerakan keluar masuk Orang Asing dan Barang dari Manca Negara. 4. Meningkatkan Kolaborasi antar Moda Transportasi untuk meningkatkan Pergerakan Turis ke Tujuan Wisata dari Bandara sedapat mungkin tidak menunggu sampai ke Destinasi tempat Wisata. 5. Meningkatkan Lapangan Kerja Masyarakat setempat.
Ketua Bidang Desa DPN ISRI Purwoko sebagai Pembicara Ketiga, pada kesempatan tersebut menyampaikan, bahwa UU Desa merupakan UU yang sangat Revolusioner, setelah UU Pokok Agraria atau cara baru Negara dalam Pengakuan Desa.
Pasal 1 dalam UU Desa sebagai Pondasi Dasar, sementara itu, Asas Desa Rekoqnisi dan Subsudiaritas menempatkan urusan berskala Lokal Desa dan Antar Desa harus diselesaikan Pemerintah Desa bersama masyarakat melalui mekanisme Swakelola/Gotong Royong dan Musyawarah Desa secara Partisipatif dan Demokratis.
Problem mendasar menurut Purwoko, dalam pelaksanaan UU Desa antara lain : a). Banyak urusan Kewenangan Desa diambil alih oleh Kementrian/Lembaga, Provinsi dan Kabupaten. b). Belum ada Penyelarasan UU No. 6 Tentang Desa dengan UU yang terkait dengan Pengaturan Desa dan bahkan banyak Permen atau SKB mengatur urusan Skala Lokal Desa. c). Paradigma Pembangun selalu menempatkan masyarakat bantuan sebagai masyarakat yang tidak berdaya dan bukan ditempatkan Desa sebagai Basis Potensi dan Produksi. d). Pertemuan Kelompok Masyarakat tingkat RT, RW atau antar Dusun dan Musyawarah Desa, belum menjadi bagian terpenting dalam Proses Pengambilan Keputusan Perencanaan, Pelaksanaan dan Pertanggungjawban Pembangunanan Desa. e). Rendahnya Kualitas Kompetensi Pendamping/Fasilitator sebagai Pembuka Akses dan Penggerak Pembangunan dan Demokratisasi Desa. f). Monev dari Masyarakat yang belum menjadi bagian terpenting menciptakan Masyarakat Sipil di tingkat Desa dan Monev Pemda Kabupaten, Provinsi serta Kementrian yang belum berfungsi dan g). Rendahnya kesadaran Krisis terkait dengan Perlindungan Lingkungan, Sosial dan Budaya sebagai Akibat Sistem Penyeragaman Model yang ditawarkan dalam Pembangunan dan Pendampingan Desa dan Antar Desa.
Misalkan saja, lanjut Purwoko, di Indonesia ada sekitar 11.000 Desa yang sangat sulit dijangkau. Kalau ada Skala Prioritas, itu dulu yang diselesaikan Kementrian/Lembaga yang selalu mengatasnamakan Program/Projeknya ke Desa. Lokasi itu hampir dapat dipastikan, letaknya/lokasinya hampir seluruhnya di Luar Jawa.
Purwoko menambahkan, Lokasi Desa yang sudah berkembang/maju, basis pendekatannya, seharusnya memaksimalkan Pendekatan Potensi dan Produksi. Basis Potensi dan Produksi pintu masuknya. Sebenarnya, ada beberapa Kegiatan Strategis misalkan, Kegiatan Peningkatan Kapasitas, Teknologi Tepat Guna dan Badan Usaha Milik Desa (BUMDES), Badan Usaha Milik Antar Desa (BUMADES), Lembaga Keuangan Mikro/Bank Desa dan Digitalisasi Usaha Desa. Kalau pendekatan tersebut dilakukan, maka itu menjadi bagian Faktor Pengungkit Utama tumbuhnya Kelas Menengah di Desa.
"Saya masih banyak menemukan Desa - Desa di Jawa belum menskemakan penganggaran itu atau bahkan belum membentuk BUMDES dan BUMADES, ini artinya Dana Desa yang seharusnya mampu meningkatkan Kelas Menengah Desa masih jauh dari harapan", urai Purwoko.
Purwoko menambahkan, seperti halnya dengan Bank Dunia membuat ukuran pengeluaran antara (2-20 US) atau Kelas Menengah dalam Persfektif Alexis Fe Tocqueville Kelompok Manusia Cendekiawan/Intelektual. Tetapi mempunyai keperpihakan pada Lerjuangan Masyarakat dalam Desa, tentunya konteknya Desa dan Antar Desa. Artinya, Musyawarah Desa dan Antar Desa yang telah diatur dalam UU Desa, sangat berpotensi dalam mendorong, menggerakan dan memastikan prinsip - prinsip Transparansi, Akuntabilitas, Partisipasi dan Demokratisasi.
Purwoko juga menekankan, pentingnya pengembangan Ekonomi Lokal Desa dan Antar Desa. Yaitu, mengoptimalkan Sumber Daya Lokal yang melibatkan Pemerintah, Dunia Usaha, Masyarakat Lokal dan Organisasi Masyarakat Desa dan Antar Desa, untuk mengembangkan Ekonomi pada Suatu Wilayah Desa dan Antar Desa, sebagai Factor Utama mengungkit dan menumbuhkan Kelas Menengah Desa. (PS/OKTA)