Parpol Angkat Isu HAM, Diduga Demi Kepentingan Politik

/ Senin, 30 Juli 2018 / 21.13.00 WIB

POSKOTASUMATERA.COM-MEDAN-Pernyataan Sekretaris Jenderal Partai Politik (Parpol) Hasto Kristyanto yang menyebut nama Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) banyak tahu atas kasus Kudatuli (Kerusuhan 27 Juli 1996), saat melakukan audiensi ke Komnas HAM terkait penuntasan kasus itu, dinilai Kordinator Forum Aktifis '98 Sumut, M Ikhyar Velayati Harahap, sangat sarat dengan kepentingan politik. 

Hal itu juga bertujuan untuk menjatuhkan lawan politiknya demi pencitraan PDIP menghadapi Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden.

"Adanya pernyataan Hasto yang menyatakan  berbicara politik tidak hanya berbicara koalisi tapi juga berbicara terhadap tanggung jawab masa lalu agar masa depan bangsa ini bisa jauh lebih baik, saat beraudiensi ke Komnas HAM di Jakarta, pada Kamis (26/7) lalu, hal itu sangat sarat dengan nuansa politik dan pencitraan. Meski Hasto menyatakan menyebut nama SBY dalam kasus ini tidak ada hubungannya dengan Pemilu 2019, tetapi secara tersirat sangat berhubungan erat," kata Ikhyar kepada wartawan, Senin (30/7), di Aceh Corner, Jalan Slamet Ketaren, Medan.

Pada peristiwa Kudatuli yang memakan korban 5 orang tewas dan 149 orang luka-luka, sebut Ikhyar, Hasto menganggap SBY mengetahui banyak hal terkait insiden itu. Sebab, menurutnya saat itu SBY menjabat sebagai Kepala Staf Komando Daerah Militer Jakarta Raya (Kasdam Jaya).

"Atas kasus ini, PDIP jangan mendemomestikasikan peristiwa 27 Juli hanya milik PDIP semata demi kepentingan politik Pileg dan Pilpres 2019, dan menuduh seseorang sebagai yang bertanggung jawab untuk menjatuhkan citra lawan politiknya. Jika mau jujur, peristiwa 27 Juli 1996 yang paling banyak korban di tangkap, di siksa dan hilang adalah dari aktifis gerakan Pro Demokrasi khususnya kader kader Partai Rakyat Demokratik (PRD), bukan PDIP," ujar Muhammad Ikhyar yang merupakan Ketua Keluarga Besar Rakyat Demokratik (KBRD) Sumut.

Muhammad Ikhyar menambahkan, oleh Pemerintahan Orde Baru waktu itu, PRD lah yang dituduh sebagai dalang dan yang memprovokasi massa aksi untuk merebut kembali Kantor DPP PDI pimpinan Megawati yang telah diambil alih secara paksa oleh massa bayaran PDI pimpinan Soerjadi yang didukung tentara dan aparat kepolisian, sehingga terjadilah bentrok dan kerusuhan massal hingga jatuhnya korban. Karena, kader-kader PRD lah yang di kenal saat itu militan dan konsisten menggerakkan dan membangun aliansi kekuatan rakyat mendukung PDI pimpinan Megawati melawan intervensi rezim otoriter Soeharto.

“Paska 27 Juli 1996, rezim Orde Baru justru menuduh Partai Rakyat Demokratik sebagai dalang dan kambing hitam dalam kerusuhan 27 Juli sehingga menjadi target penangkapan, penculikan dan intimidasi di seluruh daerah di Indonesia. Sementara Megawati dan petinggi PDI saat itu tidak satupun yang di tangkap, di culik atau di intimidasi secara fisik," jelasnya.

Ikhyar melanjutkan, PDI pimpinan Mega yang kemudian berubah nama menjadi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), mendapat keuntungan politik yang sangat besar dari peristiwa kerusuhan 27 Juli. Popularitas Megawati dan PDIP membesar dan menjadi ikon dan idola rakyat Indonesia.

Peristiwa 27 Juli 1996 merupakan bahan bakar yang mendorong perlawanan rakyat hingga puncaknya pada gerakan reformasi 1998 yang menyebabkan lengsernya rezim Soeharto dan menjadikan PDIP dan Megawati sebagai partai pemenang pemilu yang berkuasa, Tetapi ketika Mega dan PDIP berkuasa justru agenda-agenda dan ruang demokrasi kembali berlaku surut.

“Salah satu kebijakan yang tidak di tuntaskan oleh Megawati saat ia dan PDIP berkuasa adalah peristiwa 27 Juli 1996 ini. Megawati justru menempatkan orang orang yang bermasalah dan aktor yang melakukan kekerasan dan pelanggaran HAM pada Kudatuli malah di tempatkan dalam kabinetnya, misalnya menempatkan Hendropriyono sebagai Kepala Badan Intelijen Negara (BIN). Pada saat Jokowi berkuasa Megawati dan PDIP juga mendukung Sutiyoso yang saat peristiwa ini terjadi merupakan Pangdam Jaya sebagai kepala BIN “, sindir Ikhyar Velayati.

Jadi adalah hal yang aneh, kata Ikhyar, jika Hasto (Sekjend PDIP) justru mengungkit dan membuka kembali kasus 27 Jui 1996 dan menuduh SBY sebagai orang yang mengetahui dan bertanggung jawab dalam kasus tersebut. Sementara saat Megawati jadi Presiden (2001 - 2004), malah mengangkat SBY sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menko Polhukam). 

"Kalau memang SBY terlibat dan bertanggung jawab dalam kasus itu, seperti yang di tudingkan Hasto, kenapa Mega malah mengangkatnya jadi Menko. Kenapa tak dari dulu dipersoalkan dan kenapa tak dari dulu kasus ini diselesaikan. Sekarang, demi kepentingan politik elektoral dan Pilpres 2019, hal ini kembali di issu kan untuk menjatuhkan lawan politiknya. Ini jelas-jelas sangat sarat dengan kepentingan politik dan pencitraan yang dilakukan dengan cara licik dan naif. Tapi saya yakin rakyat tidak bisa lagi dibohongi dengan isu-isu murahan seperti ini," tegas Ikhyar.

Justru, timpalnya, gerakan Pro Demokrasi dan kader-kader PRD meminta pertanggung jawaban PDIP secara politik dan moral atas tidak tuntasnya kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu tersebut. Sementara Megawati, Jokowi dan PDIP dipilih oleh rakyat dan menjadi berkuasa agar kasus-kasus tersebut bisa diungkap secara tuntas sesuai dengan perundang undanga yang berlaku.

“Jika memang Hasto (PDIP) jujur, konsisten dan serius menyelesaikan setiap peristiwa pelanggaran HAM, khususnya kasus 27 Juli 1996, maka kesempatan tersebut terbuka lebar saat Megawati menjadi Presiden 2001-2004. Tetapi yang terjadi saat Megawati menjadi presiden, bukan malah menyelesaikan kasus tersebut, justru membuat pelanggaran dan kekerasan HAM baru yang lebih kejam dan sadis dari peristiwa 27 Juli yaitu memberlakukan Daerah Operasi Militer dengan mengirimkan 30.000 tentara dan12.000 polisi dikirim untuk melawan sekitar 5.000 tentara GAM. Inilah operasi militer terbesar oleh Pemerintah Indonesia sesudah reformasi. Hingga kini, sepanjang era reformasi, belum ada operasi militer yang lebih besar dari itu," ungkap Ikhyar.

Ditambahkan Ikhyar, berdasar catatan Amnesty International, selama masa operasi, sekitar 200.000 orang Aceh terpaksa tinggal di kamp pengungsian, 2.879 anggota GAM tewas sejak Mei 2003, dan 147 warga sipil meregang nyawa selama Mei 2003 - Februari 2004.

"Jadi atas dasar tersebut, sebenarnya Megawati dan PDIP sudah kehilangan hak moral dan hak politik untuk bicara tentang peristiwa 27 Juli 1996 dan peristiwa pelanggaran HAM lainnya. Dan saya juga berharap jangan sampai Komnas HAM justru menjadi alat politik PDIP untuk menjatuhkan citra Calon Presiden atau elit politik yang berseberangan dengan PDIP atau rezim yang berkuasa saat ini," ujar Ikhyar Velayati.

Muhammad Ikhyar Velayati sendiri mengaku sangat mengetahui peristiwa sejarah itu, karena merupakan aktifis era '90-an yang di tangkap di Medan karena dikaitkan dengan peristiwa kerusuhan 27 Juli di Jakarta. Ikhyar bersama 3 mahasiswa IAIN lainnya dituduh terlibat dalam pengorganisasian mahasiswa, buruh dan petani di Medan untuk melawan Rezim Orde Baru, termasuk pada peristiwa 27 Juli 1996. 

Saat itu rumah Ikhyar di grebek puluhan aparat dari Bakorstanasda yang di dominasi dari kesatuan Kopasus. Tetapi saat itu Ikhyar berhasil lolos dan lari ke Jakarta. Pada bulan Agustus 1996, Ikhyar dan 3 temannya tertangkap di LBH Medan serta ditahan selama 3 minggu di Gaperta dan menjalani wajib lapor selama 6 bulan.

Peristiwa kerusuhan 27 Juli 1996 adalah awal keruntuhan Rezim Soeharto dan Orde Baru yang berkuasa sejak 1965 sampai 1998. Penyerbuan kantor PDI oleh massa bayaran dan aparat kala itu, dalam rangka menggagalkan pengangkatan Megawati Soekarno Putri sebagai Ketua Umum PDI justru menyulut perlawanan dan membangkitkan solidaritas gerakan pro demokrasi terhadap PDI pimpinan Megawati. Peristiwa ini tidak akan pernah dilupakan oleh pelaku sejarah yang mendorong runtuhnya kekuasaan Soeharto dan Orde Baru pada 21 Mei 1998. (PS/HASAN BASRI)

Related Posts:

Komentar Anda