Ilustrasi
POSKOTASUMATERA.COM-Publik pernah dikejutkan dengan beredarnya video penganiayaan yang
dilakukan oleh seorang oknum penegak hukum terhadap ibu dan anaknya di sebuah mini
market di daerah Pangkal Pinang. Permasalahannya klasik, korban penganiayaan
melakukan pencurian di dalam mini market tersebut.
Oknum inipun langsung bergerak cepat. Oknum yang melakukan
penganiayaan telah ditindak, dan saat ini sedang diusut dugaan tindak
pidananya. Begitu juga terhadap ibu yang melakukan pencurian telah disidang
dengan acara cepat dan divonis 1 bulan penjara dengan masa percobaan 3 bulan,
sebagaimana putusan Pengadilan Negeri Pangkal Pinang No. 19/Pid.C/2018/PN.
Pgp., tanggal 13 Juli 2018.
Menilik penerapan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP dalam proses hukum tindak pidana ringan maka Pasal 205 ayat (3) KUHAP disebutkan bahwa
“Dalam acara pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pengadilan
mengadili dengan Hakim Tunggal pada tingkat pertama dan terakhir, kecuali dalam
hal dijatuhkan pidana perampasan kemerdekaan terdakwa dapat minta banding.
Mengenai batas nilai kerugian atau jumlah denda dalam perkara
tipiring, Mahkamah Agung telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor
2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda
dalam KUHP, yang pada pokoknya mengatur bahwa batas nilai kerugian dalam
perkara tipiring adalah maksimal sebesar Rp2,5 juta, dan terhadap perkara
yang ancaman hukuman pidananya maksimal tiga bulan penjara atau pidana denda,
maka terhadap tersangka atau terdakwa tidak dapat dikenakan penahanan, serta
acara pemeriksaan yang digunakan adalah acara pemeriksaan cepat, selain itu
perkara-perkara tersebut tidak dapat diajukan upaya hukum Kasasi.
Perma tersebut dikeluarkan sebagai respon terhadap beberapa
ketentuan di dalam KUHP terkait batas nilai kerugian dan denda, yang dianggap
sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kondisi saat ini. Perma ini juga
ditujukan untuk menghindari terjadinya penumpukan perkara di Mahkamah Agung
serta menghindari penerapan pasal-pasal kejahatan biasa dalam kasus kejahatan
ringan, yang pelakunya tidak perlu ditahan dan tidak perlu diajukan upaya hukum
kasasi. Pemeriksaannya dilakukan dengan acara cepat seperti diatur Pasal
205-211 KUHAP dan dimungkinkan penyelesaian di luar pengadilan (damai).
Sebagai tindak lanjutnya, pada bulan Oktober 2012, Mahkamah
Agung bersama Kejaksaan, Kepolisian, dan Kemenkumham telah membuat Nota
Kesepahaman terkait pelaksanaan Perma No. 2 Tahun 2012. Nota Kesepahaman ini
untuk restorative justice (pemulihan keadilan), terutama untuk kasus pidana
anak dan pidana ringan dengan nilai denda atau nilai kerugian di bawah Rp2,5
juta.
Pengalaman LBH Mawar Saron Jakarta dalam kurun waktu 3 bulan
terakhir saja, telah terdapat 2 buah kasus yang seharusnya diproses dengan
mekanisme penanganan tipiring. Namun ternyata tidak dilaksanakan, dimana pihak
kepolisian maupun kejaksaan memproses kasus tersebut sebagaimana layaknya
kejahatan biasa, bahkan pelakunya ditahan.
Contohnya Perkara No.: 782/Pid.B/2018/PN.Jkt.Brt atas nama
terdakwa Winda Ayu Antika Sari. Pelaku ditangkap dan ditahan sejak tanggal 10
Febuari 2018 karena diduga melakukan penadahan dengan nilai kerugian sebesar
Rp1.000.000. Pelaku akhirnya di keluarkan dari tahanan oleh Majelis Hakim
Pengadilan Negeri Jakarta Barat pada tanggal 6 Juni 2018 (tapi sudah ditahan
selama 4 bulan), yang mengabulkan eksepsi penasihat hukum dari LBH Mawar Saron
yang menyatakan perkara tersebut adalah kasus tipiring.
Begitu juga dengan Perkara No.: 854/Pid.B/2018/PN.Jkt.Brt atas
nama terdakwa Herwandi yang sebelumnya ditangkap dan ditahan sejak tanggal 08
Maret 2018, karena kasus Penggelapan dengan nilai kerugian sebesar Rp600.000,
yang dikeluarkan dari tahanan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta
Barat pada tanggal 10 Juli 2018 (tapi sudah ditahan selama 4 bulan). Hal ini
dilakukan setelah Majelis Hakim perkara a quo mengabulkan Eksepsi Penasihat
Hukum dari LBH Mawar Saron yang menyatakan Perkara tersebut adalah kasus
tipiring.
Sangat mungkin kasus-kasus serupa masih banyak terjadi di
berbagai daerah di Indonesia yang menyebabkan pelaku tipiring yang seharusnya
diperlakukan adil dan tidak perlu ditahan, justru telah mendapat ketidakadilan
dengan proses hukum yang tidak semestinya.
Oleh sebab itu dibutuhkan komitmen dari segenap aparat penegak
hukum untuk melaksanakan aturan tipiring dengan konsisten. Khususnya agar
pemeriksaan dilakukan dengan proses cepat dan tidak perlu dilakukan penahanan
terhadap pelaku, tanpa perlu menunggu adanya “perlawanan” dari pihak pelaku
atau kasusnya sampai terekspose di media.
Hal ini penting karena (1) Pelanggaran terhadap Perma Tipiring
dan Nota Kesepahaman tentang Tipiring yang dibuat oleh Mahkamah Agung bersama
Kejaksaan, Kepolisian, dan Kemenkumham, justru akan mencoreng nama baik
institusi penegak hukum, (2) Penahanan terhadap pelaku tipiring merupakan
pelanggaran hak asasi manusia karena telah merampas kemerdekaan seseorang
dengan sewenang-wenang, (3) Pelaku tipiring yang ditahan justru akan membebani
dan merugikan Negara (Rutan dan Lapas), sebab biaya untuk mengurus tahanan di
Lapas atau Rutan tidak murah, (4) Menghindari semakin menumpuknya isi penghuni
rutan, (5) Pelaku tipiring justru potensial terkontaminasi dengan pelaku
kejahatan-kejahatan berat lainnya, dan (6) Menghindari timbulnya trauma pada
pelaku tipiring karena hak-hak hukumnya telah dilanggar.
Bagaimanapun juga, kita tentu sepakat pelaku kejahatan harus
dihukum setimpal dengan perbuatannya. Namun memproses sebuah kejahatan ringan
dengan pelanggaran hukum justru akan menimbulkan sebuah kejahatan yang lebih
besar lagi, yang ironisnya hal tersebut dilakukan oleh aparat negara terhadap
warganya sendiri. (##)
Penulis : Ditho H.F. Sitompoel,
SH., LL.M merupakan Advokat dan Direktur LBH Mawar Saron Jakarta.