Aksi Tolak Tambang Emas Martabe Dari 190 Ribu Viewer, Kejagung RI Terima Laporan Walhi Dugaan Korupsi SDA Senilai 437 Triliun

/ Jumat, 14 Maret 2025 / 18.57.00 WIB

POSKOTASUMATERA.COM-MEDAN-190.000 dukungan datang dari berbagai belahan dunia untuk menuntut adanya perlindungan dan penghentian eksploitasi ekosistem Batang Toru. Dukungan yang digalang melalui tantangan petisi ini diserahkan secara langsung oleh WALHI Sumatera Utara bersama WALHI Nasional dan Satya Bumi yang tergabung dalam Aliansi Tolak Tambang Martabe (Lantam) kepada Menteri Kehutanan, Menteri ESDM, dan pimpinan Agincourt di Jakarta, pada Kamis, 27 Februari 2025.

Selain menyampaikan petisi, WALHI dan Satya Bumi juga melakukan aksi kreatif untuk menarik perhatian publik agar ikut mendukung gerakan penyelamatan Orangutan Tapanuli dan Biodiversitas di Ekosistem Batang Toru.

Dilansir dalam press realease nya, Direktur WALHI Sumatera Utara Rianda Purba dengan tegas menyatakan kekhawatiran atas dampak lingkungan yang diakibatkan oleh tambang emas Martabe. 

Rianda menyoroti aktivitas tambang yang menyebabkan kerusakan yang sangat besar pada Ekosistem Batang Toru dan mengancam kelangsungan hidup Orangutan Tapanuli, salah satu spesies paling langka di dunia.

“Tambang emas Martabe terletak di jantung Ekosistem Batang Toru, yang merupakan habitat terakhir bagi Orangutan Tapanuli. Dengan populasi yang kurang dari 800 individu, spesies ini sangat rentan terhadap kepunahan,” ujar Rianda di Jakarta, Kamis (27/2/2025).

Menurut pantauan WALHI Sumatera Utara, dalam 15 tahun terakhir, deforestasi di sekitar tambang telah mencapai lebih dari 114 hektar, menghilangkan hutan yang merupakan habitat penting bagi Orangutan Tapanuli.

Selain di Jakarta, aksi juga dilakukan serentak di Medan, Sumatera Utara di depan kantor United Tractors, dengan tuntutan yang sama. Sementara itu, Friends of the Earth (FoE) dan Ekō yang tergabung dalam koalisi internasional, menyampaikan petisi secara langsung kepada Jardine Cycle & Carriage Limited di London, Inggris. Jardine Cycle & Carriage Limited adalah perusahaan induk yang memiliki PT Agincourt Resources, perusahaan yang mengoperasikan tambang emas Martabe di Sumatera Utara.

“Hari ini, 190.000 orang dari seluruh dunia mengirimkan pesan yang sangat jelas dan mendesak kepada Jardine Matheson dan Martabe: tidak ada jumlah emas yang sebanding dengan risiko terhadap masa depan orangutan paling langka di dunia. Orangutan Tapanuli bukan sekadar simbol, tetapi bukti nyata bahwa kehancuran keanekaragaman hayati akibat keserakahan korporasi bukanlah ancaman yang jauh di masa depan," katanya. 

Fatah Sadaoui, Direktur Kampanye Ekō mengatakan, dari Jakarta hingga London dan di berbagai belahan dunia, masyarakat menuntut korporasi seperti Jardine Matheson untuk bertanggung jawab dalam melindungi alam. Jardine Matheson harus mengambil tindakan nyata untuk menyelamatkan orangutan Tapanuli sebelum terlambat.

"Orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis), spesies baru di antara kera besar yang teridentifikasi pada 2017 lalu terus mengalami ancaman besar lantaran dikepung berbagai industri ekstraktif, salah satunya tambang emas Martabe," ujarnya.

Keberadaan Tambang Emas Martabe yang berlokasi di Kabupaten Tapanuli Selatan memperburuk kondisi lingkungan dan merusak habitat alami Orangutan Tapanuli serta mengganggu keseimbangan Ekosistem Batang Toru. Ekspansi tambang ini juga menyebabkan deforestasi yang signifikan. 

EKSPANSI BAHAYAKAN EKOSISTEM BATANG TORU

Saat ini, PT Agincourt Resources (AR), operator tambang emas Martabe, tengah berencana membuka lokasi penimbunan atau Tailing Management Facility (TMF) baru di wilayah utara konsesi. Pembukaan ini tentu akan berdampak buruk pada Ekōsistem Batang Toru. Berdasarkan penelusuran dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) PT AR, total luas TMF mencapai 195,2 hektar.  

Pembangunan area TMF yang baru juga membutuhkan berbagai fasilitas tambahan yang akan membuka hutan di area Ekosistem Batang Toru, seperti pembangunan TMF Road Development (9,17 ha), Sedimen DAM TMF (86,90 ha), dan Buffer Area (291,73 ha). Sehingga total rencana lahan yang akan dibuka seluas 583 hektar. Proses pembangunan fasilitas TMF akan dilakukan secara berkala dan dalam waktu yang panjang. Kondisi ini akan memperkecil fragmentasi atau pemisahan habitat yang akan meningkatkan kepunahan satwa.

Berdasarkan Permen LHK Nomor P.20/2018, lokasi tambang PT AR merupakan lokasi ditemukannya berbagai taksa, baik yang dilindungi atau tidak. Area lokasi tambang merupakan habitat primata langka seperti siamang, simpai dan Orangutan Tapanuli. Home range orangutan secara umum memerlukan sekitar 15 sampai 20 hektar dengan jelajah harian sekitar 750 sampai 1100 meter perhari. Sehingga, 195,2 hektar pembukaan lahan akan signifikan bagi habitat orangutan.  

“Rencana pembangunan TMF walaupun berada di Area Penggunaan Lain (APL), namun secara tutupan lahan ini masih berupa hutan dan termasuk ke dalam key biodiversity area Ekosistem Batang Toru,” ujar Juru Kampanye Satya Bumi Riezcy Cecilia Dewi.

Berdasarkan survey biodiversitas yang dilakukan secara bertahap pada tahun 2008, 2013, 2016, dan 2017, lanjut Riezcy, lokasi tambang PT AR merupakan lokasi dengan kepadatan pohon yang tinggi dan terdapat beberapa spesies dilindungi, seperti siamang, simpai, dan orangutan Tapanuli. 

“Sedangkan kegiatan penyiapan lahan untuk TMF ini akan membuka area berhutan menjadi area terbuka, sehingga ini akan berdampak terhadap pengurangan habitat orangutan, yang dapat menimbulkan kepunahan dalam jangka panjang,” tegas Riezcy.

Dampak lainnya juga berupa penghilangan tutupan vegetasi dan struktur komposisi spesies flora terrestrial akibat pembukaan lahan, dan hilangnya habitat fauna serta satwa dilindungi. Potensi kehilangan pohon untuk kebutuhan pembangunan TMF yaitu sekitar 185.884 pohon. 

Pembukaan area baru untuk TMF PT AR juga diproyeksikan akan merusak sumber air, mulai dari perubahan pola aliran sungai, peningkatan limpasan air permukaan, penurunan kualitas air permukaan dan permukaan air tanah. 

“Wilayah kerja perusahaan tambang tumpang tindih dengan hulu lima DAS utama yang menjadi sumber air bagi hampir 100.000 orang. Kerusakan ini berdampak langsung pada kualitas air dan ketahanan pangan masyarakat lokal,” imbuh Rianda.

Perubahan AMDAL PT AR terjadi sejalan dengan rencana perubahan target produksi bijih emas tahunan, dari yang awalnya 6 juta ton per tahun menjadi 7 juta ton per tahun. Peningkatan jumlah produksi membuat PT AR membutuhkan wilayah penimbunan yang lebih luas. Dalam AMDAL sebelumnya, area TMF tidak ada, sehingga ini merupakan area baru yang membutuhkan lahan baru juga. 

Berdasarkan analisis AMDAL PT AR dan rencana pembukaan area TMF baru yang akan membuka tutupan hutan juga habitat satwa dilindungi, Lantam berharap ada peninjauan kembali dampak negatif yang timbul akibat aktivitas PT AR. Selain itu, ada beberapa catatan yang dapat dijadikan landasan untuk peninjauan kembali AMDAL baru PT AR, yaitu:

Kelemahan analisis biodiversitas, karena pendekatannya masih terbatas pada pencatatan spesies tanpa mengkaji peran ekologis dari masing-masing spesies. Meskipun dokumen AMDAL mengidentifikasi dampak penting hipotetik (DPH) yang lebih berfokus pada hidrologi, kualitas air, dan biologi, tetapi muaranya tetap pada persepsi masyarakat, yang bisa menyebabkan analisis kurang objektif.

Meskipun 96% warga dari 15 desa menyatakan penambangan PT AR menguntungkan ekonomi. Namun dalam banyak kasus, masyarakat lokal berada dalam posisi ekonomi yang rentan, sehingga mereka lebih mudah menerima proyek yang menawarkan manfaat ekonomi tanpa mempertimbangkan konsekuensi lingkungan yang lebih luas.

Dokumen AMDAL menyimpulkan bahwa kegiatan pertambangan dapat dilakukan dengan strategi mitigasi yang dianggap memadai. Namun, kurangnya kajian terhadap risiko jangka panjang, termasuk potensi kegagalan infrastruktur (bendungan limbah, pengelolaan air) serta konsekuensi ekologis yang mungkin baru terlihat setelah bertahun-tahun.

Kerusakan yang terjadi di ekosistem ini dapat berdampak luas, tidak hanya pada keanekaragaman hayati tetapi juga pada kehidupan masyarakat adat dan komunitas lokal yang bergantung pada hutan ini.

“Ekosistem Batang Toru bukan hanya rumah bagi orangutan dan biodiversitas lainnya, tetapi juga sumber penghidupan bagi ratusan ribu rakyat yang hidup bergantung dari hutan dan air di lanskap Batang Toru. Ada setidaknya 1200 hektar sawah yang bergantung dari air yang bersumber dari hutan Batang Toru, terancam hilang. Hal ini sangat kontradiktif dengan program swasembada pangan pemerintah," ujar Manajer Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional Uli Arta Siagian. 

"Maka jikalah presiden menganggap program swasembada pangan dari tangan petani benar-benar prioritas, harusnya presiden berani untuk mengevaluasi dan mencabut izin perusahaan yang beraktivitas di landscape Batang Toru,” katanya.

5 TUNTUTAN WALHI

Pertama, Kami menuntut agar Tambang PT. Agincourt segera menghentikan semua eksplorasi dan eksploitasi di wilayah orangutan Tapanuli, terutama di Area Keanekaragaman Hayati Kunci (KBA) dan Area Nol Kepunahan (AZE). Wilayah-wilayah ini adalah habitat kritis yang sangat penting untuk kelangsungan hidup spesies yang terancam punah, dan setiap kegiatan industri di sana telah berakibat fatal bagi Ekōsistem.

Kedua, Kami mendesak agar Tambang PT. Agincourt menghentikan deforestasi di area tambang dan mengurangi area Kontrak Karya PT Agincourt Resources yang mencakup 30.629 hektar. Banyak dari area ini tumpang tindih dengan hutan lindung di Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, dan Tapanuli Selatan, yang seharusnya dilindungi dari aktivitas pertambangan dan kegiatan industri lainnya yang merusak.

Ketiga, Kami menuntut penerapan kebijakan Tanpa Deforestasi, Pengambilan Gambut (NDPE) yang sudah diberlakukan oleh anak perusahaan Jardine lainnya, Agro Astra Lestari, agar diterapkan di seluruh operasi PT Agincourt Resources. Kebijakan ini penting untuk memastikan bahwa tidak ada lagi hutan yang hilang akibat kegiatan tambang.

Keempat, Kami menyerukan penghormatan terhadap hak asasi manusia, khususnya hak-hak komunitas lokal di sekitar Batang Toru.

Kelima, Kami meminta agar Pemerintah menghentikan kontrak karya PT. Agincourt dan bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan hidup yang telah terjadi.

LAPORKAN KE KEJAGUNG RI

Di kesempatan lain, 7 Maret 2025 lalu, WALHI Eksekutif Nasional bersama Pengurus Walhi Provinsi Aceh, Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Bengkulu, Lampung, Babel, Sumatera Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Bali, NTT, NTB, Maluku Utara dan WALHI Papua melaporkan 47 korporasi perusak lingkungan dan juga terindikasi melakukan korupsi Sumber Daya Alam ke Kejaksaan Agung. 

Korporasi-korporasi ini bergerak di sektor Perkebunan sawit skala besar, pertambangan (batu bara, emas, timah, dan nikel), kehutanan, pembangkit listrik, perusahaan penyedia air bersih, pariwisata. WALHI mengestimasi potensi kerugian negara dari indikasi korupsi SDA oleh 47 korporasi ini sebesar 437 Triliun Rupiah.

Dalam paparannya, Direktur Eksekutif Nasional WALHI Zenzi Suhadi diutip dalam press realeasenya, modus operandi dugaan korupsi dan gratifikasi antara lain merubah status kawasan hutan melalui revisi tata ruang ataupun pasal 110 A dan 110 B undang-undang Cipta kerja, gratifikasi dengan pembiaran aktivitas tanpa izin, pemberian izin meski tidak sesuai dengan tata ruang, dan lainnya. 

Bukan hanya itu, WALHI juga menjelaskan kepada pihak Kejaksaan Agung modus yang lebih besar lagi dengan mengubah atau membentuk beberapa produk hukum yang didalamnya diatur pasal-pasal yang mengakomodasi kepentingan eksploitasi SDA dan pengampunan pelanggaran, atau yang biasa disebut dengan State Capture Corruption.  

“Kita tidak bisa hanya melaporkan kasus per kasus, tapi juga harus mencari modus operandi dari kartel-kartel yang mengkonsolidasikan praktek korupsi tersebut. Dari tahun 2009 kami melihat proses menjual tanah air itu akan terus berlangsung terhadap 26 juta hektar hutan Indonesia,” kata Zenzi Suhadi.

Korupsi di sektor SDA ini telah merugikan negara dan perekonomian negara dengan hilangnya mata pencaharian rakyat, hilangnya sumber-sumber penghidupan, konflik, dan kerusakan lingkungan serta biaya eksternalitas yang harus ditanggung negara dari aktivitas korporasi tersebut. 

“Sangat besar kerugian negara dan perekonomian negara dari korupsi SDA ini dan telah banyak kasus yang selama ini dilaporkan oleh WALHI kepada pihak yang berwenang, namun hanya sedikit kasus saja yang diproses dan diadili. Kami melihat Kejaksaan Agung memiliki peran kunci dalam memastikan bahwa penegakan hukum atas kejahatan lingkungan dan korupsi sumber daya alam berjalan efektif dan tidak ada impunitas bagi para pelaku, karena itu WALHI mendatangi, melakukan audiensi dan pelaporan pada Kejaksaan Agung hari ini,” tambah Zenzi.

Raden Rafiq, Direktur WALHI Kalimantan Selatan menyampaikan, hari ini mereka melaporkan empat korporasi yang bergerak di sektor sawit dan tambang yang  diduga terindikasi melakukan korupsi SDA. Empat perusahaan ini hanya, sebagian kecil saja dari sekian banyak perusahaan yang telah melakukan pelanggaran serius terhadap lingkungan hidup dan hak masyarakat adat serta petani lokal.

Faisal Ratuela, Direktur WALHI Maluku Utara juga menyampaikan sebagai wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, masifnya pertambangan nikel saat ini telah menghancurkan wilayah tangkap nelayan, pencemaran lingkungan, hilangnya keanekaragaman hayati seperti mangrove, sigres dan koral.  

“Penegakan hukum terkait tindak pidana korupsi harus segera dilakukan oleh Kejaksaan Agung, sebab bukti permulaan yang kami laporkan telah cukup kuat ditambah lagi kasus korupsi perizinan pertambangan sebelumnya juga telah diungkap oleh KPK dan Maluku Utara menempati posisi nomor satu provinsi terkorup di Indonesia, tambahnya,” urainya.

Selain melaporkan korporasi dan pihak pemerintah yang terindikasi terlibat dalam praktik korupsi dan gratifikasi, WALHI juga menyampaikan catatan kritisnya terhadap Satgas Penertiban Kawasan Hutan yang dibentuk melalui Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025, dimana Jampidsus Kejaksaan Agung menjadi ketua pelaksana Satgas tersebut.  

Satgas harus menindak korporasi skala besar yang selama ini telah menikmati keuntungan besar, menimbulkan kerugian lingkungan dan perekonomian negara dari aktivitas ilegal dan koruptif yang mereka lakukan di kawasan hutan. Satgas tidak boleh melakukan penertiban kepada rakyat kecil yang selama ini telah menjadi korban dari klaim sepihak negara atas kawasan hutan dan korban dari buruknya tata kelola perizinan di sektor kehutanan.

“Sejak awal kami mengkritik dominasi militer dalam satgas penertiban kawasan hutan ini, berikut dengan substansi peran dan kerjanya yang diaturkan di dalam perpres. Kekhawatiran terbesar kami, akan banyak rakyat yang menjadi korban penggusuran dan dirampas tanahnya atas nama penertiban Kawasan hutan. Oleh karena itu, WALHI se Indonesia sangat serius mengawasi kerja-kerja Satgas saat ini dan kedepan” kata Uli Arta Siagian, Manager Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional.

WALHI berharap Kejaksaan Agung memproses laporan yang telah disampaikan dan WALHI juga terbuka untuk bekerja bersama Kejaksaan Agung baik di nasional maupun daerah-daerah untuk menindaklanjuti kasus-kasus korupsi SDA tersebut.

KAPUSPENKUM TANGGAPI LAPORAN

Kejaksaan Agung (Kejagung) menanggapi laporan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mengenai 47 korporasi yang diduga terlibat korupsi sumber daya alam (SDA) dan merusak lingkungan. Walhi memperkirakan, kerugian negara karena korupsi SDA dan kerusakan lingkungan mencapai Rp 437 triliun.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Harli Siregar membenarkan adanya pelaporan Walhi ke Kejaksaan Agung. "Terhadap laporan atau pengaduan tersebut, tentu akan ditelaah atau dikaji terlebih dahulu," ujarnya saat dikonfirmasi, Minggu 9 Maret 2025.

Harli menuturkan, Walhi menyerahkan laporan itu melalui Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung. Dia akan meneruskan pengaduan tersebut ke pimpinan bidang terkait. 

TANGGAPAN PT AR

Humas PT Agincourt Resources (AR) Glora Natalia dalam tanggapan dan statemen Senior Manager Corporate Communications Agincourt Resources, Katarina Siburian Hardono, Jumat (14/2025) mengatakan, pengelola dan pemegang kontrak karya Tambang Emas Martabe (TEM) menghormati hak setiap individu dan kelompok untuk menyuarakan aspirasi secara damai.

Dijelaskannya, TEM seluruhnya berada dalam kawasan APL (Areal Penggunaan Lain), klasifikasi yang mengizinkan pengembangan dan pembukaan lahan dibawah pemantauan ketat pihak berwenang. PTAR beroperasi sesuai peraturan yang berlaku dan standar terbaik di industri pertambangan.

"Kami selalu mengacu pada Kode Praktik Pengelolaan Keanekaragaman Hayati yang bertujuan melindungi dan melestarikan keanekaragaman hayati, mempertahankan manfaat jasa ekosistem, dan mendukung pengelolaan sumber daya alam hayati yang berkelanjutan," ujarnya sembari meminta media ini mengungi website https://agincourtresources.com/biodiversity/.

Dikatakannya lagi, sejak 2015 TEM ditetapkan sebagai Obvitnas (Objek Vital Nasional) sektor energi dan sumber daya mineral oleh Pemerintah Republik Indonesia. 

"PTAR terus berdialog secara konstruktif, menyelaraskan persepsi, berkolaborasi dan memberdayakan pemangku kepentingan, guna mewujudkan pertambangan yang bertanggungjawab dan berkelanjutan," bebernya.

 

Ditanya, adakah serapan dari aspirasi lembaga lingkungan hidup ini dalam konsep ke depan PT AR, apakah PT AR hanya konsen di statemen pemegang kontrak karya, wilayah APL tanpa memikirkan habibat alamai disana dan apa tanggapan PT AR, atas upaya melestarikan orang utan Tapanuli yang digaungkan Walhi? Adakah upaya PT AR mendukung hal itu,  Gloria Natalia tak langsung menanggapi, dia hanya meminta media ini merujuk statemennya sebelumnya.

"Silakan merujuk statement kami di atas ya, bang. terima kasih," pungkasnya. (PS/NET/RED)



 

Related Posts:

Komentar Anda

:)
:(
=(
^_^
:D
=D
|o|
@@,
;)
:-bd
:-d
:p